November 04, 2013

Berkorban (?)

Pagi itu, tepat hari yang begitu agung dan mulia, yap bertepatan dengan hari raya Idul Adha. Hari dimana nilai ketaatan menjadi hal yang utama dibanding perasaan atau hawa nafsu. Itulah yang dirasakan Nabi Ibrahim saat akan menyembelih putranya, Nabi Ismail. Nilai ketaatan beliau pada Allah jauh melampaui rasa sayang pada putranya, bukan tak sayang, justru karena rasa yang sudah begitu dalam maka beliau rela melakukan hal yang jelas akan menyakitkan hatinya. Pada hari tersebut pula, tepat aku harus merelakan diri, menundukkan nafsuku untuk tetap berada di kampung halaman dan memilih untuk pergi merantau. Kembali ke tempat pembelajaranku.

Tak lama setelah selesai shalat idul adha, telfonku berdering. Itu dari pihak travel, yang akan mengantarkanku hingga sampai di tempat tinggalku di jakarta. Mereka memastikan bahwa perjalanan akan dilaksanakan bada magrib. 

Sampai tibanya travel, aku langsung bersalaman dengan kedua orang tuaku meminta doa mereka dan langsung masuk ke dalam mobil. Perjalanan pun terus kami lalui hanya diiringi alunan musik dan semua terdiam, kecuali 2 orang teman dekat disampingku yang masih asyik berbincang.

Sesampainya di jakarta,aku menjadi bagian yang agak akhir untuk tujuanku. Sang Ibu, salah satu penumpang travel, tiba-tiba membuka perbincangan dan mulai bercerita tentang dirinya dan perasaanya. Sedikit banyak yang ku tangkap dari penyampaian beliau bahwa beliau adalah seorang nenek dan kini akan mengunjungi rumah sang anak dan cucu. 

Aku tersenyum simpul, betapa bahagianya nenek yang akan melihat cucunya. Begitu bisik hatiku. Tapi semua berubah saat aku melihat raut wajah yang tak biasa, justru malah jadi mengernyitkan dahi. Mungkin sang nenek faham bahasa mimik itu dan aku hanya diam, lalu beliau melanjutkan. “saya merasa malas sebenarnya untuk pergi ke sini, saya kadang merasa sangat lelah karena tugas saya adalah menjadi babby sitter” keluh sang nenek. Spontan saya beristighfar dengan pernyataan itu, entahlah sepertinya ada yang keliru. Kami pun melanjutkan perbincangan.


Setelah panjang lebar beliau bercerita ternyata anak dan menantu beliau bekerja. Mereka mempunyai rumah yang besar, bisa dibilang orang kaya, tinggal di komplek yang elite. Mereka berdua orang yang super sibuk sehingga butuh bantuan untuk merawat anak pertama mereka. Yang mereka percaya adalah ibunya/nenek dari cucunya. Sang nenek yang luar biasa ini tetap datang ditengah rasa lelahnya. Ia mengorbankan rasa lelahnya itu hanya karena kasih sayang yang dalam bagi sang anak dan cucu.

Nilai pengorbanan yang dalam dibalik rasa pilu nya. Walaupun ia tau, tak sepantasnya ia mengeluhkannya. Hanya titik jenuh itu kadang tumbuh, begitu ungkapnya.

Hai kamu, sang bunda dan ayahanda... :)

Kau tahu? Ada mimik lelah
Tapi gelisah yang kemudian berlabuh menjadi pasrah

Tak diungkap dengan diksi karena ia rasa terlalu kelu
Pilihan memaksa ia harus ada di tempat itu
Melewati batas pilu

Kau tahu? Cinta itu memberi
Tidak pada janji ataupun ilusi
Namun sayang sekali tak kau sadari
Ada jiwa yang perlu diobati

Pernahkah kau tanyakan kabarnya?
Sedetik saja
Hanya berharap kau tahu, jeritan hatinya
Atau kau bisa gunakan bahasa jiwa
Agar kau tahu
Ada hati yang tulus tapi tak semulus nalarmu.


--- dalam perenungan momentum hijrah ---
@ DT Bandung 041113