Pagi itu, tepat hari yang begitu agung dan mulia, yap
bertepatan dengan hari raya Idul Adha. Hari dimana nilai ketaatan menjadi hal
yang utama dibanding perasaan atau hawa nafsu. Itulah yang dirasakan Nabi
Ibrahim saat akan menyembelih putranya, Nabi Ismail. Nilai ketaatan beliau pada
Allah jauh melampaui rasa sayang pada putranya, bukan tak sayang, justru karena
rasa yang sudah begitu dalam maka beliau rela melakukan hal yang jelas akan menyakitkan
hatinya. Pada hari tersebut pula, tepat aku harus merelakan diri, menundukkan
nafsuku untuk tetap berada di kampung halaman dan memilih untuk pergi merantau.
Kembali ke tempat pembelajaranku.
Hai kamu, sang bunda dan ayahanda... :)
Kau tahu? Ada mimik lelah
Tak lama setelah selesai shalat idul adha, telfonku
berdering. Itu dari pihak travel, yang akan mengantarkanku hingga sampai di
tempat tinggalku di jakarta. Mereka memastikan bahwa perjalanan akan
dilaksanakan bada magrib.
Sampai tibanya travel, aku langsung bersalaman dengan kedua
orang tuaku meminta doa mereka dan langsung masuk ke dalam mobil. Perjalanan
pun terus kami lalui hanya diiringi alunan musik dan semua terdiam, kecuali 2
orang teman dekat disampingku yang masih asyik berbincang.
Sesampainya di jakarta,aku menjadi bagian yang agak akhir untuk
tujuanku. Sang Ibu, salah satu penumpang travel, tiba-tiba membuka perbincangan
dan mulai bercerita tentang dirinya dan perasaanya. Sedikit banyak yang ku
tangkap dari penyampaian beliau bahwa beliau adalah seorang nenek dan kini akan
mengunjungi rumah sang anak dan cucu.
Aku tersenyum simpul, betapa
bahagianya nenek yang akan melihat cucunya. Begitu bisik hatiku. Tapi semua
berubah saat aku melihat raut wajah yang tak biasa, justru malah jadi
mengernyitkan dahi. Mungkin sang nenek faham bahasa mimik itu dan aku hanya
diam, lalu beliau melanjutkan. “saya merasa malas sebenarnya untuk pergi ke sini,
saya kadang merasa sangat lelah karena tugas saya adalah menjadi babby sitter”
keluh sang nenek. Spontan saya beristighfar dengan pernyataan itu, entahlah
sepertinya ada yang keliru. Kami pun melanjutkan perbincangan.
Setelah panjang lebar beliau bercerita
ternyata anak dan menantu beliau bekerja. Mereka mempunyai rumah yang besar,
bisa dibilang orang kaya, tinggal di komplek yang elite. Mereka berdua orang
yang super sibuk sehingga butuh bantuan untuk merawat anak pertama mereka. Yang
mereka percaya adalah ibunya/nenek dari cucunya. Sang nenek yang luar biasa ini
tetap datang ditengah rasa lelahnya. Ia mengorbankan rasa lelahnya itu hanya
karena kasih sayang yang dalam bagi sang anak dan cucu.
Nilai pengorbanan yang dalam dibalik rasa pilu nya. Walaupun ia tau, tak sepantasnya ia mengeluhkannya. Hanya titik jenuh itu kadang tumbuh, begitu ungkapnya.
Hai kamu, sang bunda dan ayahanda... :)
Kau tahu? Ada mimik lelah
Tapi gelisah yang kemudian berlabuh menjadi pasrah
Tak diungkap dengan diksi karena ia rasa terlalu kelu
Pilihan memaksa ia harus ada di tempat itu
Melewati batas pilu
Kau tahu? Cinta itu memberi
Tidak pada janji ataupun ilusi
Namun sayang sekali tak kau sadari
Ada jiwa yang perlu diobati
Pernahkah kau tanyakan kabarnya?
Sedetik saja
Hanya berharap kau tahu, jeritan hatinya
Atau kau bisa gunakan bahasa jiwa
Agar kau tahu
Ada hati yang tulus tapi tak semulus nalarmu.
--- dalam perenungan momentum hijrah ---
@ DT Bandung 041113